Minggu, 19 April 2015

Mengenal tipe penggerak mobil



Mengenal Tipe Penggerak Mobil

Tdak ada salahnya mengenal tipe-tipe penggerak mobil meskipun kita belum memilikinya. Mobil dalam perkembangannya tidak terlepas dari orientasi para marketingnya, lebih bijak bagi calon customer untuk terlebih dahulu memahami penggerak calon mobil yang hendak dibelinya.

Penggerak Tunggal
Front-wheel drive (FWD)
Sesuai dengan namanya, sistem ini menyalurkan tenaga dari mesin ke penggerak depan untuk melajukan mobil. Sistem ini mampu meningkatkan efisiensi bahan bakar karena tatanannya yang rapi. Tidak hanya itu saja, powertrain yang berkonsentrasi di roda kemudi akan menghasilkan traksi yang lebih baik saat melintas di jalanan licin.
Untuk Anda yang menyukai kendaraan SUV tangguh dan bertenaga type FWD untuk daerah yang datar silahkan memilihnya...

Rear-wheel drive (RWD)
Sistem ini banyak digunakan sebelum ditemukannya sistem FWD di awal tahun 1980-an. Sistem ini banyak digunakan pada kendaraan bertenaga besar seperti truk, mobil balap atau mobil polisi ini memfokuskan tenaga mesin ke roda belakang. Karena RWD memang lebih efektif menunjang performa mesin dan bobot kendaraan yang lebih besar. Bagi pengguna yang berortientasi muatan, bisa jadi alternatif pilihan...


Penggerak Double
 All-wheel drive dengan four-wheel drive melibatkan empat roda, namun keduanya memiliki cara kerja yang berbeda.
1) All-wheel drive (AWD)
Sistem AWD bekerja dengan mendistribusikan tenaga ke as depan dan belakang untuk mencegah selip. Tenaga disalurkan secara otomatis lewat transfer case berkecepatan tunggal.
Kelebihan dari All-wheel drive (AWD), pengemudi tidak perlu repot mengaktifkan sistem ini.
Primadona bagi pengemudi yang banyak melintas di jalanan berumput, lumpur, pasir, bahkan kerikil yang biasanya membuat mobil dengan FWD atau RWD tersangkut.
2) Four-wheel drive (4WD atau 4x4)
Sistem 4WD bekerja menggunakan transfer case dua kecepatang. Pada prinsipnya, seperti all-wheel drive, kendaraan ini beroperasi dengan dua sistem. Kendaraan dengan sistem ini biasanya akan beroperasi dengan sistem RWD sampai kondisi membutuhkan perpindahan ke sistem 4WD.

Saran:
Mesin dengan penggerak belakang akan lebih baik dari dua medan datar dan tanjakan. 
Contoh mendorong mobil mogok, mau didorong atau ditarik? mana yg lebih berat dikerjakan...?

Sabtu, 09 Agustus 2014

Perbedaan AMIN, AMIIN, AAMIN, dan AMIEN

Dalam kesempatan kali ini izinkan saya untuk mengutarakan beberapa penggal pemahaman yang saya dapati dari kata-kata  AMIN, AMIIN, AAMIN, dan AMIEN.

      Riwayat Hadits dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: " Perhatikanlah ketika Nabi Musa a.s munajat kepada ALLAH swt". Lalu ALLAH swt berfirman : " Hai Musa, kelak Aku akan berikan kapada Umat Muhammad saw 4 Huruf: (1) huruf pertama dari kitab Taurat, (2) huruf kedua dari kitab Zabur, (3) huruf ketiga dari kitab Injil, (4) huruf keempat dari kitab Al-Qur'an".  Lalu Nabi Musa bertanya : " Ya Tuhanku, Huruf apakah yang 4 macam itu ?" dan ALLAH swt menjawab:  "ke empat macam huruf itu adalah Alif, Mim, Ya, dan Nun. Yang di singkat menjadi AaMiiN". Maka barang siapa mengucapkan AaMiiN seperti membaca 4 buah kitab-kitab yang di sebutkan di atas, yaitu Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an.
1. Maka dikatakannya bahwa Huruf Alif tertulis di Tiang Arsy ALLAH
2. Huruf tertulis di Tiang Kursi,yaitu Huruf Mim.
3. Huruf Ya tertulis di Lauhil Mahfuzh.
4. Huruf Nun tertulis di Batang Qalam .
Kemudian ALLAH swt berfirman : " Saksikanlah oleh kamu sekalian pada saat ini benar-benar Aku telah mengampuni Dosa hambaku,karena memang sifatku Yang Maha Pengampun".

Membaca Aamiin adalah dengan memanjangkan alif (ا) dan mim (م), apabila tidak demikian maka akan menimbulkan arti lain yaitu sebagai berikut.

Dalam Bahasa Arab, ada empat perbedaan kata “AMIN” yaitu :


1. ”AMIN”
(alif dan mim sama-sama pendek)
artinya : AMAN, TENTRAM
2. “AAMIN”
(alif panjang & mim pendek)
artinya : MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN
3. ”AMIIN”
(alif pendek & mim panjang)
artinya : JUJUR TERPERCAYA
4. “AAMIIN”
(alif & mim sama-sama panjang)
artinya : YA ALLAH, KABULKANLAH DOA KAMI
Bagaimana dengan pengucapan / penulisan “AMIEN“ ?

          Sebisa mungkin untuk yang satu ini (Amien) dihindari, karena Ucapan “Amien” yang lazim dilafadzkan oleh penyembah berhala (Paganisme) setelah do'a. Sedangkan kata ini sesungguhnya berasal dari nama seorang Dewa Matahari Mesir Kuno : Amin-Ra (atau orang Barat menyebutnya Amun-Ra).

       Marilah kita biasakan menggunakan kaidah bahasa yang benar dan jangan pernah menyepelekan hal yang sebenarnya besar dianggap kecil. Jikalau kita masih banyak kekurangan dalam bahasa, tidak ada salahnya belajar bersama yang memahaminya.
Sahabat, bukan maksud saya untuk mengajari tapi tidak ada salahnya saya membagi Ilmu yang saya dapatkan dari belajar agama. Kita harus hati- hati dalam mengucapkan dan menulis AaMiiN karena kalau salah mengucapkan dan menulisnya secara dengan sendirinya akan berubah makna dan arti. Seperti yang telah kita ketahui lafadz Aamiin diucapkan di dalam dan diluar shalat dalam keseharian ummah.  Di dalam shalat lafadz Aamiin diucapkan ketika imam selesai membaca surat Al-Fatihah pada rakaat ke-1 dan ke-2 shakal magrib, isya, dan subuh. Di luar shalat lafadz Aamiin diucapkan oleh orang yang mendengar do'a orang lain yang dianggap baik dan disetujui oleh si pendengar.
         Sedangkan kata “Aamiin” termasuk isim fiil Amar, yaitu isim yang mengandung pekerjaan. Oleh karena itu, para ulama jumhur mengartikannya dengan Allahummas istajib (ya Allah ijabahlah). Dengan demikian, inilah yang paling kuat dibanding makna-makna lainnya seperti bahwa Aamiin adalah salah satu nama dari Asma Allah Subhanahu Wata’alaa.

Semoga bermanfaat.


Sumber: dari berbagai sumber.

Rabu, 30 Juli 2014

Istilah Bahasa Arab yang Sering Keliru

Istilah Bahasa Arab yang Sering Keliru
Perubahan dimulai dari diri sendiri.
Kita sebagai umat muslim di Indonesia, dengan latar belakang bahasa ibu yang heterogen, sering terjadi kesalahan dalam penggunaan istilah bahasa arab. Berikut ini beberapa istilah yang sering digunakan. Semoga dengan kesabaran dan keikhlasan para penulis islami semakin memberikan pencerahan dalam berbagi ilmu.

1. Silaturahim/silaturahmi
Ucapan yang paling sering muncul dalam dialog di negeri ini adalah dua kata tersebut di atas. Di Indonesia sering kita temui kata silaturahmi sebagai kata yg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama manusia. Sedangkan aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Kata ini kian populer menjelang dan selama bulan Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakann dalam kegiatan keseharian lainnya.
Mari kita tinjau per-kata-nya.
Silaturahmi dan silaturahim, jika merujuk pada bahasa Arab, mempunyai huruf penyusun yg sama. Yang membedakan adalah akhirannya yg otomatis akan mempengaruhi artinya. Silah itu berarti menyambungkan. Sementara rahmi mempunyai arti rasa nyeri yg timbul (dan diderita sang ibu) pada saat melahirkan. Adapun rahim adalah kasih sayang (ingat: ALLOH SWT mempunyai sifat Ar Rahim, Yang Maha Penyayang).
Jika boleh dibilang silaturahmi adalah sebuah salah kaprah, karena jika merujuk kepada asal katanya, bahasa Arab, maka kata yg benar adalah SILATURAHIM. Dengan demikian, silaturahim = hubungan kasih sayang, sedangkan silaturahmi = penghubung uterus (tali pusar yg menghubungkan ibu dan anak).
2. Makna Idul Fitri yang diartikan Kembali Suci atau pada Fitrah
Sebenarnya, kata ‘ied sendiri berarti kembali atau berulang, tetapi dalam bahasa arab sudah menjadi istilah khusus untuk menyebut hari raya, karena memang menjadi peringatan yang selalu berulang setiap tahun. Yang menjadi masalah dalam pembahasan di sini adalah kata fitri, yang sering diartikan kembali suci atau kembali kepada fitrah.
Digambarkan pula bagaimana seorang yang keluar dari ramadhan bagaikan hari dilahirkan ibunya, alias tanpa dosa sedikitpun. Berangkat dari harapan yang dijanjikan dari sebuah hadits : “ Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan penuh pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu “ (HR Bukhori Muslim). Maka pendapat tersebut di atas tidak sepenuhnya salah. 
Namun secara objektif bahasa dan istilah arab dan arti syar’i sebagaimana terdapat dalam hadits, fitri disini maksudnya adalah berbuka atau kondisi tidak berpuasa. Jadi yang dimaksud idul fitri adalah kembali berbuka atau hari raya menyambut berbuka. Karena dalam hari idul fitripun kita dilarang untuk berpuasa. Makna fitri dalam arti berbuka bisa kita ambil dengan mudah dalam hadits berikut :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR Bukhori).
3. Minal Aidin Wal Faizin
Umat islam di Indonesia menjelang lebaran atau hari raya Idul Fitri, banyak yang terbiasa mengirim pesan atau mengucapkan kalimat Minal Aidin Wal Faizin kepada kerabat, teman atau orang-orang yang kita kunjungi. Yang mungkin ketika mengucapkan kalimat itu, mindset yang ada dipikiran yang mengucapkanntya adalah “mohon maaf lahir dan bathin” . padahal artinya bukanlah demikian.
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.”Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.
Kemudian, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? 
Terjemahan frasa ini adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).”Ternyata, adalah suatu kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
Lantas, bagaimanakah pengucapan yang disyariatkan?
Berikut ini beberapa pijakan dalam pemahaman saya (penulis).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] sebagai berikut:
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم
Taqobbalallahu minnaa wa minkum
“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.
Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain :Taqabbalallahu minnaa wa minka”.
4. MAHRAM
Berikut ini istilah yang sering pula kita ucapkan dalam keseharian. Kata MAHRAM yang sebenarnya bermakna orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Mahram Sebab Keturunan
Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Allah berfirman; “Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1) ibu-ibumu; (2) anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5) saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Dari ayat ini Jumhùrul ‘Ulàmà’, Imam ‘Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh “anak-anakmu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi’iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berarti boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:
“Allàh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 11).
Ingat!, karena anak hasil zina tidak berhak mendapatkan warisan menurut ‘ijma’ maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” (HR. Al Bukhàri dan Muslim).
Al-Qur’àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: “(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Mahram Sebab perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh. “Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri” (QS. An Nisà’ [4] : 23).
Menurut Jumh urul `Ulàmà’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)”. (QS. An Nisà’ [4] : 22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. An Nisà’ [4] : 23)
Rasulullàh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: “Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya” (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan ‘ijmà`ul `ulàmà’. (Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin ‘Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zina dengan seorang perempuan semoga Allàh menjauhkan kita semua, dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Dan semoga Allah SWT selalu memberikan teladan yang baik dalam setiap masa untuk para pemuda-pemudi di negeri ini.
Wanita yang bersuami
Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami. “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS. An Nisà’ [4] : 24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina” (An Nisà’/4:24). Wallàhu ‘a`làm (Asri Ibnu Tsani)
5. MUHRIM
Sebagaimana kebiasaan kita mengucapkan kata non muhrim kepada perempuan atau laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena faktor sebab sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan, padahal pengguaan kata tersebut tidaklah tepat. Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614).
Kata Muhrim di dalam bahasa arab berasal dari akar kata حرم – haruma : menjadi terlarang
Bagaimana bentuk perubahan, atau tashrifnya?
Kata حرم – haruma, bentuk mudhory’ (present tense) adalah يحرم – yahrumu, dengan mashdar ada beberapa bentuk: حرم – hurmun , حرم – hurumun, حرمة – hirmatun, dan حرام – haraamun. Semua ini artinya: menjadi terlarang. Nah, kata mashdar حرام (haraam) ini yang sering dipadankan dengan sebagai lawan kata dari حلال (halaal)
Contoh penggunaan kata kerja-nya: حرمت السحور على الصائم : harumat assahuuru ‘alaa asshooimi (Sahur itu menjadi terlarang bagi yang berpuasa)
حرمت المرأة على زوجها : harrumat al-mar-a-tu ‘alaa zaujihaa (Wanita itu menjadi terlarang bagi suaminya)
Sedangkan kata mashdar حرام – haraam, yang berarti “yang haram” adalah bentuk singular, dan bentuk pluralnya adalah حروم – huruum.
Contohnya:
الارضى الحرام – al-ardh al-haraam : tanah terlarang, tidak dikuasai, neutral zone
البيت الحرام – al-bayt al-haraam : rumah terlarang (Ka’bah), terlarang bagi non-muslim
الشحر الحرام – asy-syahr al-haraam : bulan haram, terlarang berperang
الاشحر الحروم – al-asyhur al-huruum : bulan-bulan haram

Kalau kita teruskan, maka kita dapatkan bentuk isim fa’ilnya (kata benda pelaku) adalah حارم – haarimun, dan isim maf’ulnya (kata benda objek) محروم – mahruum. Dan bentuk isim zaman (kata benda keterangan terjadinya perbuatan) atau isim makan (kata benda tempat terjadinya perbuatan) adalah محرم – mahram. Kata mahram ini artinya “terlarang”, juga berarti “orang yang haram dinikahi”. Jamaknya محارم – mahaarim.
KKT-1
Bentuk KKT-1 (kata kerja turunan ke 1), adalah:
أحرم – ahrama : mengharamkan, dengan bentuk mudhory’ يحرم – yuhrimu, dan mashdarnya adalah إحرام : ihraam.
Kata mashdar ihraam, ini arti asalnya adalah “hal pelarangan”, atau “hal pengharaman”. Kata ini, dipakai pada umumnya untuk menyebut:
تكبيرة الإحرام : takbiiratul ihraam
Takbir “pengharaman”: artinya dari takbir ini sholat dimulai, dan diharamkan melakukan yang membatalkan sholat.
Kata الإحرامihraam juga berarti menyengaja untuk memulai ibadah haji atau umrah. Di Al-Quran dikatakan, jika berhaji diharamkan (di-ihraam-kan) perbuatan rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (berbantah-bantahan).
Kalau kita teruskan bentuk KKT-1 ini maka kita akan bertemu dengan bentuk:
محرم – muhrim (orang yang berihram), atau bisa juga menjadi isim fa’il dari kata ahrama, yang bisa berarti “sesuatu yang mengharamkan”.
Jadi, artinya kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. 
6. Penulisan Wallahu A’lam
Seringkali, penulis artikel keagamaan (Islam) atau media Islam lazimnya mengakhiri tulisan dengan kalimat Wallahu a’lam (artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Mahatahu/Maha Mengetahui). Sering ditambah denganbish-shawabi menjadi Wallahu a’lam bish-shawabi.
Hal itu untuk menunjukkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang Maha Tahu atau lebih tahu segala sesuatu dari kita. Hanya Allah yang Maha Benar dan Pemilik Kebenaran mutlak. Kebenaran yang kita tuliskan itu relatif, nisbi, karena kita manusia tempat salah dan lupa.
Dimanakah letak koreksi dalam kalimat di atas?
Namun coba perhatikan, banyak yang keliru dalam penulisannya, yaitu dalam penempatan koma di atas (‘). Catatan: sebutan “koma di atas” untuk tanda baca demikian sebenarnya tidak tepat, tapi disebut “tanda petik tunggal” juga tidak tepat karena petik tunggal itu begini ‘…’ dan bukan pula “apostrof” (tanda penyingkat untuk menjukkan penghilangan bagian kata) karena dalam kata itu tidak ada kata yang dihilangkan/disingkat. Kita sepakati aja deh ya, namanya “koma di atas”.
Kita sering menjumpai penulisannya begini: Wallahu ‘alam (koma di atas [‘] sebelum huruf “a”). Jelas, Wallahu a’lam dan Wallahu ‘alam berbeda makna. Yang pertama (Wallahu a’lam) artinya “Dan Allah Mahatahu/Maha Mengetahui atau Lebih Tahu”. Yang kedua (Wallahu ‘alam) artinya “Dan Allah itu alam”, bahkan tidak jelas apa arti ‘alam di situ? Kalau ‘alamin atau ‘aalamin, jelas artinya alam, seperti dalam bacaan hamdalah –alhamdulillahi robbil ‘alamin.
A’lam itu asal katanya ‘alima artinya tahu. Dari kata dasar ‘alima itu kemudian terbentuk kata ‘ilman (isim mashdar, artinya ilmu/pengetahuan), ‘alimun (fa’il/pelaku, yakni orang yang berilmu), ma’lumun(pemberitahuan, maklumat), dan sebagainya, termasuk a’lamu/a’lam (lebih tahu).
Tanda petik tunggal atau koma di atas (‘) dalam a’lam itu transliterasi bahasa Indonesia untuk huruf ‘ain dalam bahasa Arab (seperti Jum’ah, Ka’bah, Bid’ah, Ma’ruf, dan sebagainya). Kata a’lam artinya “lebih tahu”. Jadi, kian jelas ‘kan, penulisan yang benar: Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.
Tentu, kesalahan penulisan itu tidak disengaja, salah kaprah aja alias kesalahan yang sering dilakukan, secara sadar atau tidak sadar, merasa benar —padahal salah— karena tidak ada yang mengoreksi. Saya yakin, maksudnya Wallahu a’lam, “Dan Allah Maha Tahu”.
A’ di sini pengganti ع yang lengkapnya tertulis الله أعلم , huruf أ menunjukkan arti lebih atau paling seperti menulis الله أكبر (Alloh Maha/ Paling Besar), hanya saja ketika melihat rekan2 menulis tanda koma tas sebelum huruf a, ana kira bermaksud sama yaitu pengganti a’in, walau sempat heran bunyi suara untuk koma atas kan ga ada, tapi jika setelah a, maksud dari koma atas adalah untuk menekan vokal a, karena letak huruf ع ditenggorokan jadi vokal a-nya ditekan tidak seperti a biasa yang hanya berada di rongga mulut.
Jika yang dimaksud “Dan Allah Maha Tahu” maka penulisan yang benar adalah Wallahu a’lam (tanda koma di atas [‘] setelah huruf “a” atau sebelum huruf “l”) bukan Wallahu ‘alam.
Semoga bermanfaat.

Sumber: dari berbagai sumber.

Rabu, 09 November 2011

contoh surat izin dan surat keterangan status



CONTOH SURAT IZIN DAN KETERANGAN STATUS



SURAT IZIN ORANG TUA/SUAMI/ISTRI/WALI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Orang Tua/Suami/Istri/Wali:
Nama Lengkap                         : .................................................................................................
NIK                                         : .................................................................................................
Desa/Kelurahan                        : .................................................................................................
Kecamatan                               : .................................................................................................
Kabupaten/kota                        : .................................................................................................
No. Telp yang bisa dihubungi    : .................................................................................................
          Memberi izin untuk bekerja ke Luar Negeri kepada Anak/Suami/Istri/dengan nama sebagai
berikut:
Nama Lengkap                         : .................................................................................................
NIK                                         : .................................................................................................
Desa/Kelurahan                        : .................................................................................................
Kecamatan                               : .................................................................................................
Kabupaten/kota                        : .................................................................................................
          Yang bakan ditempatkan melalui ...................................................................................dan 
agensi ........................................................ ke Negara tujuan .......................................... Jabatan ...................................................... dengan masa kontrak kerja selama ............ tahun, dengan gaji 
per bulan sebesar .................................................................... .
          Demikian Surat Izin ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

                                                                                          ................................, ........................
Mengetahui,
Kepala Desa/Lurah




..............................................
Yang memberi izin


             Materai 6000

..............................................
Nama Orang Tua/Suami/Istri/Wali




................................................................................................................................................. cut





PEMERINTAH KABUPATEN    : ...........................................................................................
KECAMATAN                            : ...........................................................................................
DESA/KELURAHAN                  : ...........................................................................................
SURAT KETERANGAN STATUS
NOMOR: ................................................

Menerangkan dengan hormat bahwa orang tersebut di bawah ini;
Nama                         : .............................................................................................................
Tempat, tgl lahir          : .............................................................................................................
Nomor KTP               : .............................................................................................................
Kebangsaan               : Indonesia, agama ...................................................... dengan alamat   
                                   .............................................................................................................
                                   .............................................................................................................
                                   .............................................................................................................
Status                       : Belum Menikah/Menikah/Duda/Janda

Demikian  surat   ini  saya  berikan  denga   sbenar-benarnya   dan  dapat  dipergunakan  untuk 
sebagaimana mestinya, sebagaimana persyaratan bekerja di LUAR NEGERI.


                                                                      ...................................................,......................

Pemegang Surat Keterangan Status




..............................................

Kepala Desa/Kelurahan
.............................................



..............................................